Selasa, November 24, 2009

perlahan

Kau hadir merengkuh
satu-satunya amarah yang ada
Peduli senja perlahan menjenuh
dunia ini kembali berprosa
Dan aku luluh!

Aku suka kau dalam diam
dalam keheningan
Kupuja kau perlahan
bahkan,
terlampau pelan
Mengalahkan bisikan malam

Lalu, siapa yang kan mendengar?

Senin, November 23, 2009

antimateri

Menjejali parau desir semenanjung biru, pilu, menggema serinai gemuruh takbir, kembali diam memecah kebekuan - lakon serat Duridana menjelma di atas jelaga. Aku tertatih. Senyak bersedih. Bukan kepada sesuatu yang datang, namun kepada segala yang kerap tumpah dan berlinang.

Ini rupa punya siapa?  Penuh luka sejuta tanya. Dan sesap yang belum terucap, hingga akhirnya penuh tetap. Kita hadir disini, lantas diam mengingkari, sambut kabung beruntai-untai. Gembala kecil beriak, tergulung janji syahdu ombak. Matanya lekas - berusap riak. Bancak!

Ragaku senyap tersekat mimpi, melampaui kebengisan mega yang bersimbah nanti. Kini dan sesaat, pantun yang menepis sekelebat. Bukan muara tempat jiwa bertatap muka, namun riaknya berlomba-lomba. Menghadirkan senyum hampa. Tempat nuansa memuja berhala, dan sesosok patih Gajah Mada.

Rabu, Oktober 28, 2009

bung

Ayo! Bung..
Beta kasi selasi jari jemari
mari kita urut ikrar janji
Tak gentar,
tak lekang,
meski raga terlucut debu
Biar nadi luluh berdecit peluru
kami pemuda tetap bersatu!

#sumpahpemuda

Senin, Agustus 24, 2009

karimun 'di'

di sini
di tempat ini
di muara hatimu aku berperi
di tepi pantai cemara besar kamu berarti

di batu
di karang itu
di mana hatiku teracap pilu
di ujung semenanjung ratapmu memahabiru

di dalam
di tanjung gelam
di rapat dekapmu penuh lebam
di atas bukit bebatuan aku melihatmu tenggelam

di dasar
di celah selasar
di parang selatan penuh takar
di rindang gemericik air laut hatiku berpendar

di paruh
di usap kayuh
di menjangan kecil anganku berlabuh
di parau ombak senja kuberharap hatimu luluh

kapan kau kembali?

Selasa, April 14, 2009

kamu - aku - kita


Malam ini. Seperti juga malam-malam sebelumnya. Menjadi saksi di saat aku hinggap menyelinap di balik sudut hatimu. Perlahan. Ku urai satu-persatu simpul kusut yang terhampar pada permukaan kita. Lantas kau bergumam. Dan mengibas tirai yang pernah koyak oleh debu kehampaan. Begitu pula aku.

Angin yang meniupkan beragam kata, luka, tawa, menjadi untaian sajak kita bersama - seribu satu bulir nada yang berangkum menjadi sebuah klausa. Akankah kita selamanya? Aku harap iya. Sebab quatrain akan nampak sia-sia tanpa rimbun aksara. Dan aku? Hanya akan menjadi daksa di dalam bilik sempit keceriaan. Senyap tanpamu.

Seperti biasa. Kidung itu kita siram kembali - nyanyikan - entah untuk berapa lama. Sambil kuselusuri rangkaian jejak yang pernah tertapaki. Aku berjanji. Menyibak dendammu dengan paluh rupa. Hingga buas itu reda - dan kita terlalu renta. Untuk menyadari bahwa takdir telah terkesiap. Di antara khusyuk lukamu-lukaku.

Kamu - Aku - Kita. Bukankah kelak menepi dan berlabuh? Menghentikan kayuh sampan yang telah karat akan peluh. Mari sudahi saja pergelutan tentang kebenaran. Sebab biduk terbentang luas dihadapan. Hingga jingga menyembul serat kelambu, dan ranah yang merekah dalam sebidang asa. Untuk kita!


Rabu, April 01, 2009

tetap disini


Hari ini, engkau telah menatap satu lembar kekosongan dalam hidupku. Duka terbesar, getir, juga setirah air mata memalukan itu. "Jangan pergi!" Pintaku. Dan terpaan malam turut membisikkan salam perpisahan yang tak kunjung usai. 

Lingkar tubuhmu membaur berimba dengan tarian kecil yang kulakukan pada pukul dua lima belas lebih sembilan detik. Dengan penuh keyakinan. Kau lantas berbisik. "Jangan takut!" Aku bangkit, lalu menyeka peluh sekenanya. 

Kau bergegas menghampiri setiap jejalnya tanpa pernah mengeluh. Walau aral kerap mencegat utas. Bahkan ketika hardikanku yang terparah sekalipun. Retas kelopak jemarimu kian berbekas. "Jangan pergi!" Sesakku penuh belas.

Nyanyian sebuah kolibri membuyarkan pertapaan kita. Disaat aku tengah mengais-ais harap pada titik terendah. Hujan yang terus merinangi pekarangan. Sapuan petir yang sungguh menciutkan. "Jangan takut!" Suaramu terdengar parau kali ini.

Saat sinar matamu berbias oleh sorot temaram persimpangan. Aku menangis. Entah untuk apa. Bukan juga siapa. Hanya duka. Dan singgasananya yang bertahta. Andaipun genggam yang kau berikan menyudahinya. Aku masih akan berkata. "Jangan pergi..."

Selasa, Maret 31, 2009

se-kotak rokok


The end of a journey is a beginning for another.

Akhirnya saya sampai kepada sebuah kesimpulan yang mengejutkan; Get over it! Maksudnya adalah melupakan dan meninggalkan segala macam aktifitas yang sudah 'mengisi' sekitar beberapa waktu terakhir.

Kalau Tom Hanks pernah ngomong 'life is like a box of chocholate' di film Forest Gum, maka bagi penikmat cerita-cerita konspirasi seperti saya, hidup gak lebih dari sebungkus kotak rokok.

Kenapa rokok?

Bagi orang sesimpel saya, rokok adalah prototipe kecil tujuan hidup yang akan saya capai, membara, bergairah, -dan sesaat kemudian- tiba-tiba pudar menjadi debu.

Kok bisa?

Saya selalu percaya bahwa segala sesuatu yang ingin saya raih tidak lebih dari sekedar 'membakar' keberuntungan. Dan bahwa suatu saat keberuntungan tersebut akan habis jika waktunya tiba.

Karenanya, saya lantas setuju-sepakat-sependapat oleh pepatah orang bule yang mengatakan 'dont push too much on your luck - when its over than your finish!'

Nikmatin aja. Take it slow. Sama halnya saat kita menghisap sebatang rokok. Kalau kita menghisapnya terlalu cepat, sudah tentu akan mengurangi rasanya bukan?

Seperti itu juga hidup.

At least for me!

Rabu, Februari 18, 2009

purnataman

Lelah, pudar menantang kemahsyukkan kabut di penghujung petang. Angin menderu - seraya mengibas sengal yang menghimpit sela-sela rongga kemajemukan.
"Pergi jauh!"
Ucapnya sambil menggerutu. Dan ia pun menghempaskannya pada serak tumpukan daun -jatuh- tersungkur menyesap rinai yang bertengger pada hamparan bulir-bulir aspal.

"Ingatlah kelak saat ini, seperti saat kau pertama kali merasakan kesejukan embun di waktu subuh. Ingatlah selalu, dengan keteguhan butir hujan yang turun berdampingan tiap detiknya. Kenanglah, seperti kepedihan yang baru menjejakkan tajamnya duri di hatimu. Dan aku, yang selalu menemani setiap jengkal ketakutanmu saat kematian enggan menghampiri" Ucapnya penuh lirih.

Kemudian, matahari mulai mengibaskan sinarnya diterik siang. Mengoyak setiap nadir sendi achiles. Ia masih termenung menapaki jejak-jejak yang dahulu kerap membiasi takdir. Dan disinilah. Detik ini juga. Kerinduannya membuncah - merona jingga hamparan kebun teh. Kerinduan yang tak akan pernah rusak oleh maktub dunia. Manusia. Juga Cinta. Kerinduan yang tetap sendiri. Sepi. Berarak sunyi, dan kelak akan pergi dari resapan hati.

"Sampai kapan?" Jeritnya dalam diam. "Bukankah hidup hanya untuk 'menunda kekalahan'?"
Lanjutnya menyesap kumandang adzan. Dan burung kolibri terbang mengepakkan sayapnya menembus kabut petang. Sayup-sayup ia masih mendengar kepatuhan mengibas pada letak ekor yang kurang proporsional itu.
"Setidaknya aku kalah, bukannya menyerah pasrah pada kekuatan alam. Itu jauh lebih terhormat!"
Ucapnya dalam hati sembari memaknai kembali kata-kata yang sesungguhnya kurang begitu ia pahami.
---------
Semangatnya, satu-satunya harapan yang tersisa, ia berikan begitu saja pada setiap deru angin yang berlomba menantang kebengisan malam. Dalam hatinya tak ada kebekuan. Hanya kejumutan yang berprosa lewat naik-turunnya rima. Bait. Serta beberapa paragraf Haiku, yang selalu bisa membuatnya gembira. Mendarat diatas tumpukan buku-buku usang. Serta beberapa catatan kecil yang selalu disimpannya erat di dalam sel-sel neuron.
"Dan aku sekali lagi mati!"
Pada saat ia berkata demikian, ia berharap seluruh jasadnya ikut merasakan keheningan. Bukan sesaat. Namun selamanya. Dan hampir-hampir ia tidak mendengar ketukan dahan yang terjungkal dari puncak meranti. Jatuh dan menembus inti pusaran jagal. Tanpa ketukan salam pembuka.
Tepat di bulan Januari yang sunyi.


Senin, Februari 09, 2009

tea for no one


Still gloom in a single heart of mistake
Better cup? Or better room? I’ll stake
Let’s never talk and never make

For once i know it’s all true
When i heard they yelling 'little' Peggy Sue
Let's get tired and surrender overdue

And then, we talk lullaby until no one agree
I choose death instead a couple of tea
Let's doubt the world under my resignation plea

Minggu, Februari 08, 2009

rajut


dan...
senja perlahan masuk diam-diam
membuncah batu di bongkahan malam
sejenak, kau tenggelam
sungging di pipimu berangsur memudar hilang
padahal, belum sempat kau enyahkan dingin yang meregang
walau kelam saling bertegur bimbang

kali kau genggam gundah ini
kalinya ku' enggan mereguk binar mimpi
belas tanpa sejumput arti
aku lantas -jadi- terlalu malas
membenam kepulan yang hanya kupahami sekilas
dengung berima - apa kita pantas?

untuk sesaat, laju berkeluh kesah
resah putaran roda perlahan membelah
sungging itu pun kembali merekah
layaknya butiran-butiran debu
indah, kemilau, semu?
belum tentu

----

dan...
pagi menyeruak tiba-tiba
peluh itu ku' rengkuh sampai tak bersisa
sungguh angkuhmu mengalahkan segalanya
hanyutkan sampan ke hiruk lengkung sudut
diantara tipisnya serpihan kabut
jemari melingkar berpagut, sama merajut

lalu, ku' cumbui hujan dalam lebat kantuk
kala buih mentari singgah mengetuk
membenam aku 'lagi' ke-seikat peluk
ingat! usang pelupuk matamu samar
pasti benar bukan sorot terpintar
namun, cukup menghapus segumpal nanar

akhirnya, sang mendung tersingkap tepian bulan
dengan atau tanpa sehelai benang kemudian
kamu-aku menyerah-pasrah akan-kecupan
ah, jejak yang dahulu kerap menapak
perlahan kian surut dari pangkal kelopak
mari kita berayun, berdansa, dan berombak

-nyut-

Minggu, Januari 25, 2009

debu

-

kita, menari dalam rangkuman hati

-

memagut waktu yang kian kemari

-

berpendar mengejar jejak mentari

-

Kamis, Januari 22, 2009

cinta bodoh!


Tanyakan pada laki-laki itu tentang duka akibat perpisahan. Ia tidak akan menjawab apa-apa, kecuali saputan mendung di wajahnya.

Tanyakan pada laki-laki itu perihnya penghianatan. Kau akan melihat kedua tangannya terkepal, dan rahangnya yang mengeras karena amarah.

Tanyakan pada laki-laki itu pedihnya kehilangan orang yang disayang. Ia masih bertahan dengan bisunya, tapi air matanya tak sanggup ditahannya lagi.

Tetapi coba tanyakan padanya, mengapa sudi dipecundangi cinta. Yakinlah laki-laki itu pasti akan tertawa, menertawakan pertanyaanmu yang dianggap bodoh. Lalu berkata :

”Kalau kau pernah mengecap cinta, maka kau tak akan pernah bertanya!”