Rabu, Februari 18, 2009

purnataman

Lelah, pudar menantang kemahsyukkan kabut di penghujung petang. Angin menderu - seraya mengibas sengal yang menghimpit sela-sela rongga kemajemukan.
"Pergi jauh!"
Ucapnya sambil menggerutu. Dan ia pun menghempaskannya pada serak tumpukan daun -jatuh- tersungkur menyesap rinai yang bertengger pada hamparan bulir-bulir aspal.

"Ingatlah kelak saat ini, seperti saat kau pertama kali merasakan kesejukan embun di waktu subuh. Ingatlah selalu, dengan keteguhan butir hujan yang turun berdampingan tiap detiknya. Kenanglah, seperti kepedihan yang baru menjejakkan tajamnya duri di hatimu. Dan aku, yang selalu menemani setiap jengkal ketakutanmu saat kematian enggan menghampiri" Ucapnya penuh lirih.

Kemudian, matahari mulai mengibaskan sinarnya diterik siang. Mengoyak setiap nadir sendi achiles. Ia masih termenung menapaki jejak-jejak yang dahulu kerap membiasi takdir. Dan disinilah. Detik ini juga. Kerinduannya membuncah - merona jingga hamparan kebun teh. Kerinduan yang tak akan pernah rusak oleh maktub dunia. Manusia. Juga Cinta. Kerinduan yang tetap sendiri. Sepi. Berarak sunyi, dan kelak akan pergi dari resapan hati.

"Sampai kapan?" Jeritnya dalam diam. "Bukankah hidup hanya untuk 'menunda kekalahan'?"
Lanjutnya menyesap kumandang adzan. Dan burung kolibri terbang mengepakkan sayapnya menembus kabut petang. Sayup-sayup ia masih mendengar kepatuhan mengibas pada letak ekor yang kurang proporsional itu.
"Setidaknya aku kalah, bukannya menyerah pasrah pada kekuatan alam. Itu jauh lebih terhormat!"
Ucapnya dalam hati sembari memaknai kembali kata-kata yang sesungguhnya kurang begitu ia pahami.
---------
Semangatnya, satu-satunya harapan yang tersisa, ia berikan begitu saja pada setiap deru angin yang berlomba menantang kebengisan malam. Dalam hatinya tak ada kebekuan. Hanya kejumutan yang berprosa lewat naik-turunnya rima. Bait. Serta beberapa paragraf Haiku, yang selalu bisa membuatnya gembira. Mendarat diatas tumpukan buku-buku usang. Serta beberapa catatan kecil yang selalu disimpannya erat di dalam sel-sel neuron.
"Dan aku sekali lagi mati!"
Pada saat ia berkata demikian, ia berharap seluruh jasadnya ikut merasakan keheningan. Bukan sesaat. Namun selamanya. Dan hampir-hampir ia tidak mendengar ketukan dahan yang terjungkal dari puncak meranti. Jatuh dan menembus inti pusaran jagal. Tanpa ketukan salam pembuka.
Tepat di bulan Januari yang sunyi.


Senin, Februari 09, 2009

tea for no one


Still gloom in a single heart of mistake
Better cup? Or better room? I’ll stake
Let’s never talk and never make

For once i know it’s all true
When i heard they yelling 'little' Peggy Sue
Let's get tired and surrender overdue

And then, we talk lullaby until no one agree
I choose death instead a couple of tea
Let's doubt the world under my resignation plea

Minggu, Februari 08, 2009

rajut


dan...
senja perlahan masuk diam-diam
membuncah batu di bongkahan malam
sejenak, kau tenggelam
sungging di pipimu berangsur memudar hilang
padahal, belum sempat kau enyahkan dingin yang meregang
walau kelam saling bertegur bimbang

kali kau genggam gundah ini
kalinya ku' enggan mereguk binar mimpi
belas tanpa sejumput arti
aku lantas -jadi- terlalu malas
membenam kepulan yang hanya kupahami sekilas
dengung berima - apa kita pantas?

untuk sesaat, laju berkeluh kesah
resah putaran roda perlahan membelah
sungging itu pun kembali merekah
layaknya butiran-butiran debu
indah, kemilau, semu?
belum tentu

----

dan...
pagi menyeruak tiba-tiba
peluh itu ku' rengkuh sampai tak bersisa
sungguh angkuhmu mengalahkan segalanya
hanyutkan sampan ke hiruk lengkung sudut
diantara tipisnya serpihan kabut
jemari melingkar berpagut, sama merajut

lalu, ku' cumbui hujan dalam lebat kantuk
kala buih mentari singgah mengetuk
membenam aku 'lagi' ke-seikat peluk
ingat! usang pelupuk matamu samar
pasti benar bukan sorot terpintar
namun, cukup menghapus segumpal nanar

akhirnya, sang mendung tersingkap tepian bulan
dengan atau tanpa sehelai benang kemudian
kamu-aku menyerah-pasrah akan-kecupan
ah, jejak yang dahulu kerap menapak
perlahan kian surut dari pangkal kelopak
mari kita berayun, berdansa, dan berombak

-nyut-