Selasa, April 14, 2009

kamu - aku - kita


Malam ini. Seperti juga malam-malam sebelumnya. Menjadi saksi di saat aku hinggap menyelinap di balik sudut hatimu. Perlahan. Ku urai satu-persatu simpul kusut yang terhampar pada permukaan kita. Lantas kau bergumam. Dan mengibas tirai yang pernah koyak oleh debu kehampaan. Begitu pula aku.

Angin yang meniupkan beragam kata, luka, tawa, menjadi untaian sajak kita bersama - seribu satu bulir nada yang berangkum menjadi sebuah klausa. Akankah kita selamanya? Aku harap iya. Sebab quatrain akan nampak sia-sia tanpa rimbun aksara. Dan aku? Hanya akan menjadi daksa di dalam bilik sempit keceriaan. Senyap tanpamu.

Seperti biasa. Kidung itu kita siram kembali - nyanyikan - entah untuk berapa lama. Sambil kuselusuri rangkaian jejak yang pernah tertapaki. Aku berjanji. Menyibak dendammu dengan paluh rupa. Hingga buas itu reda - dan kita terlalu renta. Untuk menyadari bahwa takdir telah terkesiap. Di antara khusyuk lukamu-lukaku.

Kamu - Aku - Kita. Bukankah kelak menepi dan berlabuh? Menghentikan kayuh sampan yang telah karat akan peluh. Mari sudahi saja pergelutan tentang kebenaran. Sebab biduk terbentang luas dihadapan. Hingga jingga menyembul serat kelambu, dan ranah yang merekah dalam sebidang asa. Untuk kita!


Rabu, April 01, 2009

tetap disini


Hari ini, engkau telah menatap satu lembar kekosongan dalam hidupku. Duka terbesar, getir, juga setirah air mata memalukan itu. "Jangan pergi!" Pintaku. Dan terpaan malam turut membisikkan salam perpisahan yang tak kunjung usai. 

Lingkar tubuhmu membaur berimba dengan tarian kecil yang kulakukan pada pukul dua lima belas lebih sembilan detik. Dengan penuh keyakinan. Kau lantas berbisik. "Jangan takut!" Aku bangkit, lalu menyeka peluh sekenanya. 

Kau bergegas menghampiri setiap jejalnya tanpa pernah mengeluh. Walau aral kerap mencegat utas. Bahkan ketika hardikanku yang terparah sekalipun. Retas kelopak jemarimu kian berbekas. "Jangan pergi!" Sesakku penuh belas.

Nyanyian sebuah kolibri membuyarkan pertapaan kita. Disaat aku tengah mengais-ais harap pada titik terendah. Hujan yang terus merinangi pekarangan. Sapuan petir yang sungguh menciutkan. "Jangan takut!" Suaramu terdengar parau kali ini.

Saat sinar matamu berbias oleh sorot temaram persimpangan. Aku menangis. Entah untuk apa. Bukan juga siapa. Hanya duka. Dan singgasananya yang bertahta. Andaipun genggam yang kau berikan menyudahinya. Aku masih akan berkata. "Jangan pergi..."