"Pergi jauh!"
Ucapnya sambil menggerutu. Dan ia pun menghempaskannya pada serak tumpukan daun -jatuh- tersungkur menyesap rinai yang bertengger pada hamparan bulir-bulir aspal.
"Ingatlah kelak saat ini, seperti saat kau pertama kali merasakan kesejukan embun di waktu subuh. Ingatlah selalu, dengan keteguhan butir hujan yang turun berdampingan tiap detiknya. Kenanglah, seperti kepedihan yang baru menjejakkan tajamnya duri di hatimu. Dan aku, yang selalu menemani setiap jengkal ketakutanmu saat kematian enggan menghampiri" Ucapnya penuh lirih.
"Ingatlah kelak saat ini, seperti saat kau pertama kali merasakan kesejukan embun di waktu subuh. Ingatlah selalu, dengan keteguhan butir hujan yang turun berdampingan tiap detiknya. Kenanglah, seperti kepedihan yang baru menjejakkan tajamnya duri di hatimu. Dan aku, yang selalu menemani setiap jengkal ketakutanmu saat kematian enggan menghampiri" Ucapnya penuh lirih.
Kemudian, matahari mulai mengibaskan sinarnya diterik siang. Mengoyak setiap nadir sendi achiles. Ia masih termenung menapaki jejak-jejak yang dahulu kerap membiasi takdir. Dan disinilah. Detik ini juga. Kerinduannya membuncah - merona jingga hamparan kebun teh. Kerinduan yang tak akan pernah rusak oleh maktub dunia. Manusia. Juga Cinta. Kerinduan yang tetap sendiri. Sepi. Berarak sunyi, dan kelak akan pergi dari resapan hati.
"Sampai kapan?" Jeritnya dalam diam. "Bukankah hidup hanya untuk 'menunda kekalahan'?"
Lanjutnya menyesap kumandang adzan. Dan burung kolibri terbang mengepakkan sayapnya menembus kabut petang. Sayup-sayup ia masih mendengar kepatuhan mengibas pada letak ekor yang kurang proporsional itu.
"Setidaknya aku kalah, bukannya menyerah pasrah pada kekuatan alam. Itu jauh lebih terhormat!"
Ucapnya dalam hati sembari memaknai kembali kata-kata yang sesungguhnya kurang begitu ia pahami.
---------
Semangatnya, satu-satunya harapan yang tersisa, ia berikan begitu saja pada setiap deru angin yang berlomba menantang kebengisan malam. Dalam hatinya tak ada kebekuan. Hanya kejumutan yang berprosa lewat naik-turunnya rima. Bait. Serta beberapa paragraf Haiku, yang selalu bisa membuatnya gembira. Mendarat diatas tumpukan buku-buku usang. Serta beberapa catatan kecil yang selalu disimpannya erat di dalam sel-sel neuron.
"Dan aku sekali lagi mati!"
Pada saat ia berkata demikian, ia berharap seluruh jasadnya ikut merasakan keheningan. Bukan sesaat. Namun selamanya. Dan hampir-hampir ia tidak mendengar ketukan dahan yang terjungkal dari puncak meranti. Jatuh dan menembus inti pusaran jagal. Tanpa ketukan salam pembuka.
Tepat di bulan Januari yang sunyi.